07 November 2007

Cerita Pahit Lainnya di Malaysia

Nama saya Budiman Bachtiar Harsa, 37 tahun, WNI asal Banten, karyawan di BUMN berkantor di Jakarta.Kasus pemukulan wasit Donald Peter di Malaysia, BUKAN kejadian pertama. Behubung sdr Donald adalah seorang “Tamu Negara” hingga kasusnya terexpose besar-besaran. Padahal kasus serupa sering menimpa WNI di Malaysia. BUKAN HANYA TKI Atau Pendatang Haram, tapi juga WISATAWAN.

Tahun 2006, bulan Juni, saya dan keluarga (istri, 2 anak, adik ipar), pertama kalinya kami “melancong” ke Kuala Lumpur Malaysia. (Kami sudah pernah berwisata ke negara2 lain, sudah biasa dengan berbagai aturan imigrasi).

Hari pertama dan kedua tour bersama Travel agent ke Genting Highland, berjalan lancar, kaluarga bahagia anak-anak gembira.

Hari ketiga city tour di KL, juga berjalan normal. Malam harinya, kami mengunjungi KLCC yang ternyata sangat dekat dari Hotel Nikko, tempat kami menginap. Usai makan malam, berbelanja sedikit, adik ipar dan anak-anak saya pulang ke hotel karena kelelahan, menumpang shuttle service yang disediakan Nikko Hotel. Saya dan istri berniat berjalan-jalan, menikmati udara malam seperti yg biasa kami lakukan di Orchard Singapore, toh kabarnya KL cukup aman. Mengambil jalan memutar, pukul 22.30, di dekat HSC medical, lapangan dengan view cukup bagus ke arah Twin Tower.

Saat berjalan santai, tiba2 sebuah mobil Proton berhenti, 2 pria turun mendekati saya dan istri. Mereka tiba-tiba meminta identitas saya dan istri, saya balas bertanya apa mau mereka. Mereka bilang “Polis”, memperlihatkan kartu sekilas, lalu saya jelaskan saya Turis, menginap di Nikko hotel.

Mereka memaksa minta passport, yang TIDAK saya bawa. (Masak sih di negeri tetangga, sesama melayu, speak the same language, saya dan istri bisa berbahasa inggris, negara yg tak butuh visa, kita masih harus bawa passport?). Salah satu “polis” ini bicara dengan HT, entah apa yg mereka katakan dengan logat melayunya, sementara seorang rekannya tetap memaksa saya mengeluarkan identitas.

Perliaku mereka mulai tak sopan dan Istri saya mulai ketakutan. Saya buka dompet, keluarkan KTP. Sambil melotot, dia tanya : “kerja ape kau disini?” saya melongo… kan turis, wisata. Ya jalan-jalan aja lah, gitu saya jawab. Pak polis membentak dan mendekatkan mukanya ke wajah saya: KAU KERJA APE? Punya Licence buat kerja?

Wah kali dia pikir saya TKI ilegal. Saya coba tetap tenang, saya bilang saya bekerja di Jakarta, ke KL untuk wisata. Tiba-tiba salah satu dari mereka mencuba memegang tas istri, dan bilang: “mana kunci Hotel? “… wah celakanya kunci 2 kamar kami dibawa anak dan ipar saya yg pulang duluan ke hotel.

Saya ajak mereka ke hotel yang tak jauh dari lokasi kami. Namun pak Polis malah makin marah, memegangi tangan saya, sambil bilang: Indon… dont lie to us. Saya kurung kalian…

Jelas saya menolak dan mulai marah. Saya ajak mereka ke hotel Nikko, dan saya bilang akan tuntut mereka habis2an. sambil memegangi tangan saya, tuan polis meludah kesamping, dan bilang: kalian semua sama saja…

Saat itu sebuah mobil polisi lainnya datang, pake logo polisi, seorang polisi berseragam mendekat. Di dadanya tertulis nama: Rasheed.

Saya merapat ke pagar taman sambil memegang istri yang mulai menangis. Melawan 3 polis, tak mungkin. Mereka berbicara beritga, mirip berunding. Wah, apa polis malaysia juga sama aja, perlu mau nyari kesalahan orang ujung2nya merampok?

Petugas berseragam lalu mendekati saya, meminta kami untuk tetap tenang. Saya bertanya, apa 2 orang preman melayu itu polisi, lalu polisi berseragam itu mengiyakan. Rupanya karena saya mempertanyakan
dirinya, sang preman marah dan mendekati saya, mencengkram leher jaket saya, dan siap memukul, namun dicegah polisi berseragam.

Polisi berseragam mengajak saya kembali ke Hotel untuk membuktikan identitas diri. saya langsung setuju, namun keberatan bila harus menumpang mobil polisi. Saya minta untuk tetap berjalan kaki menuju Nikko Hotel, dan mereka boleh mengiringi tapi tak boleh menyentuh kami.

Akhirnya kami bersepakat, namun polisi preman yang sempat hampir memukul saya sempat berkata: if those indon run, just shoot them… katanya sambil menunjuk istri saya. Saya cuma bisa istigfar saat itu, ini rupanya nasib orang Indonesia di negeri tetangga yang sering kita banggakan sebagai “sesama melayu”. Diantar polisi berseragam saya tiba di Nikko Hotel.

Saya minta resepsionis mencocokan identitas kami, dan saya menelpon adik ipar untuk membawakan kunci. Pihak Nikko melarang adik saya, dan mengatakan kepada sang Polis, bahwa saya adalah tamu hotel mereka, WNI yang menyewa suites family, datang ke Malaysia dengan Business class pada Flight Malayasia Airlines. Pak Polis preman mendadak ramah, mencoba menjelaskan bahwa di Malaysia mereka harus selalu waspada. Saya tak mau bicara apapun dan mengatakan bahwa saya sangat tersinggung, dan akan mengadukan kasus ini, dan “membatalkan rencana bisnis dengan sejumlah rekan di malaysia” (padahal saya tak punya rekan bisnis di negeri sial ini).

Polisi berseragam berusaha tersenyum semanis mungkin, berusaha keras untuk akrab dan ramah, petugas Nikko Hotel kelimpungan dan berusaha membuat kami tersenyum. Setelah istri saya mulai tenang, saya mengambil HP P9901 saya dan merekam wajah kedua polisi ini. Keduanya berusaha menutupi wajah, meminta saya untuk tidak merekam wajah mereka. Istri saya minta kita mengakhiri konflik ini, dan sayapun lelah. Kami tinggalkan melayu-melayu keparat ini, tanpa berjabat tangan.

Sepanjang malam saya sangat gusar, dan esoknya kami membatalkan tur ke Johor baru, mengontak travel agent agar mencari seat ke Singapore. Siang usai makan siang, saya tinggalkan Malaysia dengan perasaan dongkol, dan melanjutkan liburan di Singapore.

Mungkin saya sial? ya. Mungkin saya hanya 1 dari 1000 WNI yang apes di Malaysia? bisa. Tapi saya catat bahwa bila saya pernah dihina, diancam, bahkan hampir dipukuli, bukan tak mungkin masih ada orang lain mengalami hal yg sama.

Jadi, kalau hendak berlibur di Malaysia, sebaliknya pikir masak2. Jangankan turis, Rombongan atlet saja bisa dihajar polisi Malaysia. Bayangkan bila perlakuan seperti ini dilakukan di hadapan anak kita. Tentu anak akan trauma, sekali gus sedih.

Tidak ada komentar: